“Rem Sosial Menjaga Investasi”: Kearifan Lokal Jambi Sebagai Penjaga Stabilitas Ekonomi
Zonabrita.com – Dinamika aksi massa yang belakangan terjadi di beberapa titik di Provinsi Jambi menjadi sorotan serius. Fenomena ini, jika tidak segera diatasi, berpotensi memicu eskalasi menuju tindakan anarkis yang dapat mengancam iklim investasi daerah.
Kepala Pusat Studi Perencanaan Bisnis dan Investasi Universitas Jambi, Muhammad Ridwansyah, yang juga menjabat Ketua Harian Tenaga Ahli Gubernur Jambi, menekankan pentingnya peran “rem sosial” berbasis kearifan lokal untuk menjaga kondusivitas dan keberlanjutan arus modal masuk.
Menurut Ridwansyah, dalam artikelnya yang bertajuk “Rem Sosial Menjaga Investasi”: Merajut Kondusivitas atas Fenomena Demo Anarkis di Jambi, seperti ditulis dilaman Radarnesia.com, Senin, 1 September 2025 mengatakan, fenomena anarkis dapat dianalisis melalui teori ekonomi. Teori biaya transaksi (Transaction Cost Economics) menjelaskan bahwa ketidakpastian sosial akan memperbesar biaya koordinasi, kontrak, dan pengawasan dalam kegiatan usaha. Aksi massa yang berakhir anarkis menaikkan “risk premium” bagi investor, sejalan dengan konsep risiko politik dalam Institutional Economics. Stabilitas kelembagaan, termasuk norma adat, menjadi faktor krusial bagi keberlangsungan investasi.
Lebih lanjut, teori ekspektasi rasional (Rational Expectation Theory) menjelaskan bahwa pelaku usaha akan menyesuaikan keputusan modalnya berdasarkan ekspektasi stabilitas di masa depan. “Jika aksi anarkis terus berulang, ekspektasi negatif akan terbentuk, dan minat investasi akan menurun,” ujar Ridwansyah.
Dampak Nyata Aksi Anarkis pada Iklim Investasi
Investor selalu melihat risiko melalui dua lensa utama: risiko operasional (gangguan logistik, kerusakan aset, dan keselamatan karyawan) dan risiko regulasi/ketidakpastian (potensi perubahan kebijakan dan friksi antara pemerintah pusat dan daerah). Ketika aksi massa berujung pada kekerasan, seperti perusakan fasilitas umum, blokade jalan, atau intimidasi, risk premium akan meningkat tajam. Hal ini bisa menunda atau bahkan mengalihkan keputusan investasi ke provinsi lain yang dianggap lebih stabil.
Data empiris dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan korelasi langsung antara stabilitas sosial dan realisasi investasi. Pasca-kerusuhan sosial Mei 1998, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) anjlok hingga 44% dibandingkan tahun sebelumnya. Kasus serupa juga terjadi di Sulawesi Tengah saat konflik Poso di awal 2000-an, di mana investor menunda ekspansi hingga kondisi keamanan pulih.
Sebaliknya, daerah yang berhasil menjaga iklim sosial kondusif, seperti Jawa Tengah, mampu mempertahankan tren pertumbuhan investasi hingga 12-15% per tahun. “Ini menunjukkan bahwa kearifan lokal mampu menekan eskalasi konflik,” jelas Ridwansyah, menambahkan bahwa hal ini sejalan dengan analisis mengenai “conflict trap” yang menciptakan lingkaran setan: biaya pengamanan naik, produktivitas turun, dan investor enggan masuk.
Jambi Capai Peningkatan Investasi yang Signifikan
Momentum positif investasi di Jambi saat ini harus terus dijaga. Laporan dari DPMPTSP Provinsi Jambi mencatat peningkatan kinerja yang optimal pada tahun 2024. Total investasi, baik PMA maupun PMDN, mencapai Rp11,57 triliun, melampaui target Rencana Strategis (Renstra) sebesar Rp5,71 triliun, yang artinya tercapai 202,70%. Angka ini juga hampir mencapai target BKPM RI, yakni 99,60%. “Capaian ini menunjukkan daya tarik Jambi sebagai tujuan investasi,” kata Ridwansyah.
Peran “Rem Sosial” dan Kearifan Lokal Jambi
Dalam konteks menjaga stabilitas, Ridwansyah mencontohkan Bali. Keberhasilan Bali dalam menciptakan iklim kondusif bagi investasi dan pariwisata tidak lepas dari tradisi adat, seperti konsep “Tri Hita Karana”, yang menjadi fondasi kohesi sosial. Adat mampu menjadi “rem sosial” yang efektif, menjaga ketertiban tanpa biaya represif yang besar.
Di Jambi, “rem sosial” berbasis kearifan lokal ini sangat penting. Tutur kata yang santun dalam tradisi Melayu Jambi, seperti seloko “kami susun jari nan sepuluh, kami tundukkan kepala nan satu”, bukan sekadar basa-basi, melainkan kode etik untuk menurunkan ketegangan dan menata dialog. Ruang protes tetap ada, tetapi harus dilandasi nilai-nilai marwah, ketertiban, dan musyawarah.
Beberapa seloko yang relevan sebagai “rem sosial” di tengah aksi massa antara lain:
- “Duduk samo rendah, tegak samo tinggi,” yang menekankan egalitas dalam musyawarah.
- ”Berat samo dipikul, ringan samo dijinjing,” yang mengajarkan solidaritas dan menolak kekerasan yang merugikan sesama warga.
- ”Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” yang mengingatkan bahwa aksi harus menjunjung hukum dan nilai lokal.
- ”Tegak rumah karena sendi, tegak negeri karena budi,” yang menegaskan bahwa negeri yang kokoh bukan hanya oleh hukum positif, tetapi juga budi pekerti dalam berekspresi.
Peran Pemimpin dan Tindak Lanjut Kebijakan
Kondusivitas tidak berarti menutup ruang kritik. Sebaliknya, kearifan lokal dapat memperkuat ruang kritik dengan menjadikannya sebagai pagar. Ridwansyah menyoroti seloko “Keruh aek tengok ke hulu, Senak aek tengok ke muaro”, yang menegaskan pentingnya pemimpin turun langsung ke akar rumput untuk memahami sumber persoalan. Tradisi ini sejalan dengan program Pejabat Tidur di Dusun (Pertisun), yang bertujuan menyerap aspirasi masyarakat secara langsung.
Namun, kehadiran simbolis saja tidak cukup. Diperlukan tindak lanjut berupa alokasi anggaran yang proporsional agar masalah di lapangan tidak sekadar menjadi catatan.
“Kepemimpinan sejati bukan hanya hadir secara fisik, tetapi juga mampu menyalurkan sumber daya fiskal ke titik kebutuhan yang paling mendesak,” tegas Ridwansyah.
Dengan demikian, capaian investasi yang sudah diraih Jambi tidak akan luntur oleh kabut kekisruhan. “Minat investor akan tetap bertahan, bahkan tumbuh, karena mereka melihat Jambi mampu merajut perbedaan menjadi mufakat,” pungkasnya.(redaksi)