Mengulas Kembali Paradigma Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia: Rujukan bagi Provinsi Jambi

Thamrin B. Bachri (Poto: Istimewa)

Zonabrita.com – Paradigma pariwisata berkelanjutan semakin mengemuka, tak hanya menjadi tren global tetapi juga kebutuhan mendesak di tengah isu-isu pemanasan global, perubahan iklim, dan overtourism. Penulis, Thamrin B. Bachri, seorang alumnus Department of Hospitality & Tourism University of Wisconsin, USA, yang juga menjabat sebagai Tenaga Ahli Gubernur Jambi dan mantan Direktur Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, menyoroti bagaimana konsep ini telah menjadi landasan kebijakan penting di Indonesia, khususnya sebagai rujukan bagi Provinsi Jamb yang ditulisnya diberbagai halaman media onlline di Jambi berjudul Paradigma Pariwisata Berkelanjutan di Indonesia, pada Selasa (9/9/2025).

Sejarah dan Landasan Hukum di Indonesia

Wacana pariwisata berkelanjutan sudah dimulai sejak awal tahun 1990-an di kalangan akademisi Indonesia. Konferensi internasional “Universal Tourism: Enriching or Degrading Culture?” pada tahun 1992 yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional menandai masuknya konsep ini ke ranah kebijakan. Dari sisi hukum, gagasan ini diperkuat oleh sejumlah peraturan, seperti UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Menteri Pariwisata RI No. 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.

Meskipun demikian, kajian empiris menunjukkan adanya paradoks. Di satu sisi, pariwisata berkelanjutan dianggap sukses karena konsepnya telah menyebar luas ke industri dan pemerintah. Namun, di sisi lain, dampaknya terhadap lingkungan terus meningkat secara absolut, seperti yang terlihat dari emisi karbon dan permasalahan overtourism di beberapa destinasi populer dunia.

Tantangan dan Paradoks di Tengah Pandemi

Pandemi COVID-19 memberikan reorientasi pada sektor pariwisata, memaksa banyak pihak untuk memikirkan kembali bentuk pariwisata yang lebih ramah lingkungan dan budaya. Namun, penulis mengingatkan bahwa meskipun pandemi dapat memicu perubahan, transformasi menyeluruh pada sistem pariwisata tetap sulit terjadi tanpa perubahan mendasar.

Menurut Thamrin B. Bachri, pariwisata berkelanjutan menyajikan sebuah paradoks: keberhasilan dalam difusi konsepnya, namun kegagalan dalam implementasinya karena pertumbuhan dampak lingkungan yang terus terjadi. Ia mengajukan pertanyaan penting mengenai paradigma yang harus diadopsi Indonesia: apakah berbasis pasokan (supply-driven) atau berbasis pasar (market-based)? Apakah filosofinya anthropocentrism (berpusat pada manusia) atau ecocentrism (berpusat pada alam)?

Menerapkan Paradigma Berkelanjutan dan Quality Tourism

."width="300px"

Penulis berasumsi bahwa paradigma yang paling sesuai dengan Indonesia adalah yang selaras dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, konsep pariwisata berkelanjutan disandingkan dengan quality tourism, sebuah istilah yang fokus pada pengalaman dan kepuasan wisatawan, yang pada akhirnya mengarah pada orientasi pasar.

Paradigma ini selaras dengan kerangka kerja Travel & Tourism Competitiveness Index dari World Economic Forum, yang mengukur daya saing pariwisata suatu negara. Oleh karena itu, paradigma baru pariwisata berkelanjutan yang berorientasi pasar ini harus menjadi landasan bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam menyusun program yang mencakup empat pilar pembangunan kepariwisataan: industri, destinasi, pemasaran, dan kelembagaan.

Dengan memahami dan menerapkan paradigma ini secara konsisten, Provinsi Jambi dapat mengelola potensi pariwisatanya secara berkelanjutan, memastikan pertumbuhan ekonomi yang seimbang dengan perlindungan lingkungan dan budaya lokal.(red)