Makatara: Perizinan PT SAS Berpotensi Ditinjau Ulang Menurut Peraturan Menteri ATR/BPN

Willy Marlupi, Sekretaris Umum Makatara (Foto Zonabrita)

Zonabrita.com – Pemerintah memberi kemudahan perizinan berusaha diantaranya membangun sistem perizinan terintegrasi secara elektronik melalui online single submission (OSS) sebagai implementasi PP No 5/2021 tentang Penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis reisiko (PBBR).

Dalam pelaksanaannya, Sistem ini memandu kita, menjelaskan tata cara, hingga jenis dokumen yang diperlukan, agar perizinan bisa diproses seperti kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) yang menjadi persyaratan dasar yang wajib dipenuhi pelaku usaha dalam berusaha, dan menjadi acuan untuk; Pemanfaatan ruang, Perolehan tanah, Pemindahan hak atas tanah, Dan Penerbitan hak atas tanah.

“Apa yang dimaksud KKPR adalah pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang, Simpelnya begitu. Ijin KKPR atau konfirmasi kkpr di sistem oss bisa otomatis terbit ketika persyaratan yang di input terbaca oleh sistem sesuai atau berkesesuaian. Namun kententuan otomatis ini berlaku untuk daerah yang sudah ada RDTR (rencana detail tata ruang). Jika belum  prosesnya memerlukan persetujuan kkpr melalui kajian, pertimbangan teknis, secara berjenjang dan komplenter, oleh Instansi/badan/forum yang ada di daerah” Ujar Willy Marlupi, Sekretaris Umum Makatara (Masyarakat Anti Kerusakan Lingkungan dan Tata Ruang) Selasa (16/9/2025) memaparkan.

Berangkat dari ketentuan izin kkpr yang menjadi persyaratan dasar kegiatan berusaha tsb, Ujar Willy, Makatara tertarik menguji KKPR perusahaan batubara yang sedang membangun terminal batubara di Aur Kenali, Kota Jambi, yang disebut-sebut dengan istilah terminal untuk kepentingan sendiri (tuks) atas nama PT. SAS, katanya, sudah ada KKPR atau PKKPR, Namun terjadi penolakan dari warga sekitar? Terjadi kritik dari ahli/pakar/pengamat? Lalu ada pula surat dari pemko jambi ke gubernur jambi agar meninjau ulang pemanfaatan lahan di lokasi itu supaya tidak menimbulkan persoalan hukum dikemudian hari.

Fakta-fakta itu membuat Makatara semakin tertarik menyelam lebih dalam atau menginvestigasi pemanfaatan lahan di lokasi ini, mengumpulkan data dan memverifikasi data, yang hasil sangat mengagetkan.

Ternyata hamparan pemanfaatan lahan yang direncana untuk tuks di lokasi ini berada di empat kawasan, yaitu kawasan lindung, ketahanan pangan, perumahan, perdagangan dan jasa, yang secara umum menurut aturan dan ketentuannya, ada kegiatan yang dibolehkan dan tidak dibolehkan, dan yang lebih mengagetkan lagi, Kata Willy, tidak ditemukan satupun klausul terminal batubara atau tuks termasuk di dalam kegiatan yang dibolehkan.

“Artinya apa? Secara umum bisa dibilang bahwa pemanfaatan lahan di lokasi ini tidak sejalan dengan KKPR. Karena lokasi pemanfatan lahannya tidak sesuai dengan rencana tata ruangnya” tegas Willy.

Sekum perkumpulan Makatara ini menerangkan, Luas pemanfaatan lahan yang Mereka amati berkisar 47,6 hektar. Yang mana menurut hasil verifikasi di Gistaru online Kementerian ATRBPN, Luasan tersebut terdiri kawasan lindung 30%, fungsi kawasan untuk perumahan 56%, fungsi ketahanan pangan 9%, dan fungsi kawasan untuk perdagangan jasa 5%.

."width="300px"

Sebagian dari luasan itu sudah berubah fungsi akibat penggunaan lahan di lokasi tsb oleh aktifitas land clearing, penggalian dan penimbunan, yang di dalam aturan dan ketentuannya, perubahan fungsi ruang/kawasan dapat berimplikasi serius karena berhadapan dengan UU tentang penataan ruang, UU tentang lingkungan hidup, hingga peraturan daerah kota jambi No. 5/2024 tentang rencana tata ruang wilayah.

Berdasarkan indikasi ketidakpatuhan yang terang benderang seperti ini, Lanjut Willy, itulah yang membuat Makatara melaporkan resmi persoalan ini ke pihak berwenang, yang dalam hal ini Walikota jambi selaku kepala daerah yang memiliki kewenangan atas daerahnya. Karena di dalam ketentuan penyelenggaraan penaatan ruangnya, ada aspek pengawasan dan pengendalian yang mana secara ketentuan dan kewenangannya, sudah ada juga di dalam rencana tata ruang wilayah.

“Telanjangnya Indikasi ketidakpatuhan pemanfaatan ruang dan atau indikasi penyimpangan KKPR ini sudah Kami laporkan dan laporannya sudah diterima jum’at kemarin di kantor Walikota Jambi. Sebagai pelapor, Makatara menunggu jawaban Walikota karena laporan ini kami tembuskan juga ke pemerintah pusat” tutup Willy.

Berpotensi Ditinjau Ulang

Sebagai informasi, Baru-baru ini Kementerian ATRBPN menggelar rapat pimpinan tentang pembahasan pembatalan dan pencabutan KKPR, Khusunya antara Dirjen Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (PPTR) dengan Dirjen Tata Ruang, Guna membahas urgensi serta mekanisme pencabutan KKPR terutama dalam kasus-kasus yang menimbulkan dampak signifikan terhadap ruang, yang mana disampaikan bahwa pembatalan KKPR dapat dilakukan apabila dokumen diperoleh melalui prosedur yang tidak sah, seperti pemalsuan data pemohon atau ketidaksesuaian lokasi.

Hal tersebut mengacu PP No. 21/2021 dan Peraturan Menteri ATRBPN No.13/2021, di mana pembatalan juga bisa diberlakukan apabila KKPR menimbulkan dampak sosial, keamanan, lingkungan, atau gangguan terhadap objek vital nasional. Sementara itu, pencabutan KKPR dilakukan apabila kegiatan pemanfaatan ruang yang berjalan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam KKPR.

Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang, Aria Indra Purnama, menyatakan bahwa pencabutan adalah bagian dari sanksi administrasi yang dapat dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang. Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Agus Sutanto, menyampaikan bahwa perlu ada mekanisme resmi berupa pengaduan masyarakat kepada Menteri ATRBPN yang kemudian didisposisikan kepada Ditjen PPTR untuk dilakukan penilaian.

Hasil penilaian itu menjadi dasar rekomendasi pencabutan atau pembatalan kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM selaku pihak yang menandatangani KKPR melalui sistem OSS. Rapat pimpinan ini juga menyoroti pentingnya harmonisasi sistem OSS dengan database KKPR milik Ditjen PPTR guna menghindari ketidaksesuaian data dan prosedur.

Proses formal pembatalan atau pencabutan akan dibuat melalui nota dinas dari Ditjen PPTR yang diteruskan kepada Menteri ATRBPN dan tembusan kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM. “Pembatalan dilakukan jika dokumen diperoleh secara tidak sah, sedangkan pencabutan dilakukan jika pemanfaatannya menyimpang. Keduanya tetap harus diawali dengan laporan atau pengaduan resmi,” tegas Jonahar, Direktur Jenderal PPTR.

Dijelaskannya, Bahwa rapat pimpinan di Kementerian ATRBPN menjadi langkah strategis dalam penguatan pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang dan tata kelola KKPR agar lebih akuntabel, tepat prosedur, dan tidak menimbulkan konflik spasial di kemudian hari.(red)