Kericuhan Proyek PLTA Kerinci, Ketua HKK Ramli Taha Minta Penyelesaian Damai
Zonabrita.com – Ketua Himpunan Keluarga Kerinci (HKK), Ramli Taha, buka suara menyikapi kericuhan yang terjadi di lokasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kerinci, Jambi, pada Kamis (21/8/2025). Melalui unggahan video di akun Facebook pribadinya pada Sabtu (23/8/2025), Ramli Taha mengecam bentrokan yang ia sebut sangat disayangkan dan menyedihkan bagi seluruh keluarga besar Kerinci di perantauan.
Sebagai putra daerah, Ramli mengimbau masyarakat, perusahaan, tokoh adat, ulama, tokoh masyarakat, serta aparat kepolisian untuk bersama-sama menciptakan situasi yang kondusif. Ia juga meminta PT Kerinci Merangin Hidro (KMH) menyelesaikan konflik dengan cara damai dan kekeluargaan.
”Penyelesaian secara damai dan kekeluargaan adalah langkah positif. Ini hukum tertinggi yang berlaku di masyarakat,” ujar Ramli.
Ia menekankan pentingnya perusahaan menuntaskan masalah terkait hak kepemilikan dan kewajiban lain yang menjadi tanggung jawab mereka.
Secara terpisah, unjuk rasa yang berujung bentrokan merupakan buntut dari konflik berkepanjangan antara warga dan pihak pengelola PLTA. Warga menuntut ganti rugi lahan dan dampak proyek yang lebih layak.
Dari dua desa terdampak dengan total lebih dari 900 Kepala Keluarga (KK), warga menolak tawaran kompensasi Rp 5 juta per KK dari pihak PLTA. Menurut data pemerintah daerah, sebanyak 275 KK atau sekitar 31% dari total warga terdampak masih menolak tawaran tersebut.
Warga menuntut ganti rugi sebesar Rp 300 juta per KK, yang mereka anggap sebanding dengan kerugian yang dialami. Namun, mediasi yang sudah dilakukan sebelumnya tidak membuahkan hasil karena pihak perusahaan tetap pada angka Rp 5 juta, sementara warga bersikeras pada tuntutan mereka.
Seorang tokoh masyarakat Desa Pulau Pandan, Dandi, mengungkapkan bahwa isu ini bukan hanya soal nominal uang, tetapi menyangkut kelangsungan hidup warga. “Ini bukan sekadar soal uang, tapi menyangkut mata pencaharian masyarakat yang sudah puluhan tahun bergantung dari mencari ikan di sungai,” tegas Dandi, yang dikutip dilaman Jambisatu.id.
Warga khawatir penutupan aliran sungai dan perubahan jalur sungai akan membuat ikan dari Danau Kerinci tidak lagi masuk, yang berarti hilangnya mata pencarian nelayan tangkapan dan petani.
Sikap Pemerintah, menanggapi kericuhan itu, pemerintah daerah dan kepolisian segera mengambil tindakan. Polisi menambah personel untuk mengamankan proyek strategis nasional tersebut.
Bupati Kerinci Monadi mengimbau warga menahan diri dan menjaga ketertiban. Ia juga menjelaskan bahwa proyek PLTA Kerinci-Merangin Hidro merupakan proyek vital yang memerlukan dukungan semua pihak. Monadi menyebut perusahaan sudah mengucurkan kompensasi Rp 5 juta per KK, namun ia menilai tuntutan Rp 300 juta “tidak berdasar” karena banyak warga tidak memiliki bukti alas hak atas tanah.
”Sebagian sudah menerima kompensasi Rp 5 juta, namun masih ada oknum yang meminta ganti rugi mencapai Rp 300 juta,” ujar Bupati Monadi.
Sementara itu, Polda Jambi menyatakan kesiapan mereka untuk memfasilitasi dialog lanjutan dan menjamin keamanan pertemuan antara warga dan perusahaan pasca-kerusuhan.
Sejarah Proyek PLTA dan Konflik yang Terus Berulang
Diketahui dari berbaagai sumber bahwa Proyek PLTA Kerinci Merangin Hidro merupakan megaproyek pembangkit listrik berkapasitas 350 Megawatt (MW) yang dikerjakan oleh PT Kerinci Merangin Hidro (KMH), bagian dari Kalla Group. Proyek ini memanfaatkan aliran Sungai Batang Merangin dan Danau Kerinci.
Sejak dicanangkan pada 2012, proyek ini telah menghadapi berbagai kendala, termasuk perubahan desain dan penolakan warga. Pada Juli 2021, ratusan warga adat Lembaga Depati Rencong Telang bahkan “menyerbu” lokasi proyek, menuduh lahan adat mereka diserobot.
Perselisihan antar kelompok adat ini juga mewarnai tahapan awal pembangunan. Selain masalah lahan adat, warga juga mempermasalahkan ganti rugi lahan pribadi dan fasilitas umum. Pada 2024, ratusan warga Pulau Pandan memblokade pintu air Danau Kerinci, menuntut penghentian proyek sampai kompensasi diselesaikan.
Perbedaan nilai kompensasi menjadi akar konflik utama. Warga menuntut “ganti untung” Rp 300 juta per KK karena hilangnya lahan garapan dan penurunan pendapatan. Sementara pihak perusahaan menganggap nilai itu tidak wajar. Perbedaan ini menciptakan kebuntuan dalam negosiasi.
Dari data Tim Terpadu Penanganan Konflik Kerinci mencatat, hingga Agustus 2025, sekitar 69% (643 KK) warga telah menerima kompensasi Rp 5 juta. Namun, 31% sisanya (275 KK) menolak dan berharap ada peninjauan ulang nilai ganti rugi. Kondisi ini memicu gesekan sosial di tengah masyarakat.
Ketua BPD Pulau Pandan, Nanang Sudayana, menegaskan bahwa warga sebenarnya mendukung pembangunan, asalkan hak-hak mereka terpenuhi. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi jangan sampai pembangunan itu mengorbankan kami,” kata Nanang.
Ia menambahkan, sejak proyek berjalan, pendapatan warga merosot karena sungai terganggu. Irigasi sawah tidak lancar dan hasil panen menurun drastis, sementara nelayan kehilangan banyak tangkapan ikan.
Oleh Redaksi