Polisi Jambi Dikritik: Kriminalisasi Pejuang Agraria Saat Konflik Struktural Memanas

Bukti2 patok kawasan hutan diatas lahan (Foto Zonabrita)

Zonabrita.com – Kepolisian Daerah (Polda) Jambi menghadapi kritik keras dari aktivis hak asasi manusia dan pakar hukum agraria. Kritik ini mencuat setelah Polda Jambi diduga mengedepankan pendekatan penegakan hukum (law enforcement) yang berlebihan dan mengkriminalisasi petani di tengah konflik agraria struktural yang kian memanas di wilayah tersebut.

​Lebih dari separuh dari 28 juta keluarga miskin di pedesaan Indonesia adalah keluarga petani, mencerminkan ketimpangan kepemilikan tanah dan akses pertanian yang tidak adil. Di Jambi sendiri, tercatat 272 ribu rakyat miskin yang sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor ini. Situasi sosial-ekonomi yang genting ini menuntut kehadiran negara untuk menjamin keamanan dan perlakuan yang berpihak kepada rakyat kecil.

​Ketegangan mencapai puncaknya setelah Thawaf Aly (59 tahun), Ketua Divisi Advokasi Persatuan Petani Jambi (PPJ), dijemput paksa oleh belasan polisi dari Subdit III Jatanras Mapolda Jambi pada 29 September lalu. Hingga kini, aktivis yang telah lama bergelut dalam pendampingan konflik agraria tersebut ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Mapolda Jambi.

​Koordinator Lapangan, (Mapolda) Jambi belakangan ini dinilai terlalu fokus pada kasus konflik agraria. Mereka justru menggunakan pasal-pasal kekerasan dan kejahatan serius (extraordinary crime) untuk mengkriminalisasi para pejuang petani dari berbagai organisasi tani selama tiga tahun terakhir. Hal ini dinilai kontraproduktif dan membuat institusi kepolisian menjadi menakutkan, alih-alih menjadi pengayom masyarakat.

​Azhari, Pejuang HAM dari Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Perwakilan Jambi, meminta arogansi Subdit III Jatanras Polda Jambi yang dipimpin oleh AKP Irwan segera dievaluasi. Azhari menuding penyidik bertindak ugal-ugalan dan mengabaikan ketentuan hukum yang jelas.

​”Kita minta arogansi SUBDIT III Polda Jambi dievaluasi, sepertinya terlalu ugal-ugalan. Mereka tidak mempertimbangkan dan mengindahkan edaran Keputusan Lembaga semulia Mahkamah Agung dalam PERMA No.1/1956 dan edaran Kejaksaan Agung SE Kajagung B-230/2013,” tegas Azhari.

​Kedua regulasi tersebut dengan tegas menyatakan bahwa proses kriminalisasi tidak boleh dilakukan saat proses kebenaran perdata sedang berlangsung di pengadilan. “Ini pelecehan, pembangkangan terhadap Judicial Security yang telah dibentuk, ini pelanggaran HAM dan Konstitusi serius,” kritik Azhari.

​Persatuan Petani Jambi menilai penyidik Polda Jambi bertindak tidak profesional, gegabah, dan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku. Mereka menyebutkan, objek perkara merupakan sengketa tanah yang telah diatur dalam regulasi kehutanan dan pernah mendapat pengakuan prosedural dari instansi pemerintah.

."width="300px"

​Penyidik justru dinilai mengkriminalisasi petani yang memperjuangkan hak atas tanahnya, alih-alih menindak pihak yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (yakni Sucipto Yudodiharjo yang dituding mengerahkan anak buah memanen sawit ilegal dalam kawasan hutan).

​Ahmad Azhari, Ketua IHCS Jambi, menegaskan penahanan Thawaf Aly cacat prosedural dan cacat hukum.
​”Tidak ada unsur mens rea atau niat jahat dalam tindakan beliau. Kelompok taninya (Thawaf Aly) menempuh jalur sesuai aturan perundangan dan terus berkonsultasi dengan pihak Dishut (Dinas Kehutanan) Pemerintah,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa kasus ini adalah konflik klaim yang sudah diproses pengadilan perdata, sehingga penyidik tidak semestinya mentersangkakan petani.

​Senada dengan itu, Dr. Rudi Hartanto, Pakar Hukum Agraria Universitas Jambi, menilai kasus ini menunjukkan bentuk abuse of power oleh penyidik Polda Jambi. “PERMA No.1/1956 dan SE Kajagung B-230/2013 sudah sangat jelas. Bila objek perkara adalah sengketa tanah, maka proses pidana wajib ditangguhkan. Penetapan tersangka terhadap Asman Tanwir dkk berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara,” jelasnya.

​Sementara itu, Agus Erfandi, S.H., Ketua Tim Advokasi, menduga kuat ada rekayasa hukum dan kriminalisasi petani. Ia menyoroti berkas perkara Asman dkk yang sampai hari ini belum dikembalikan ke Kejati (P-19), membuktikan lemahnya alat bukti yang dimiliki penyidik.

​Para pengkritik juga mempertanyakan sikap Polda Jambi yang terkesan abai terhadap kriminalitas dengan kekerasan, kejahatan sumber daya alam seperti tambang ilegal, perusakan hutan, dan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), yang seharusnya lebih terbuka untuk ditindak.

​Tuntutan Mendesak Atas dasar itu, para aktivis dan tim hukum mendesak:

  1. ​Kriminalisasi petani harus dihentikan segera.
  2. Polda Jambi harus menghormati PERMA dan SE Kajagung sebagai pedoman hukum acara.
  3. ​Aparat penegak hukum wajib menindak Sucipto Yudodiharjo dan kroninya yang terbukti melanggar hukum di kawasan hutan.
  4. ​Kapolri dituntut turun tangan untuk menertibkan aparat Polda Jambi yang dinilai tidak profesional dan merugikan rakyat kecil.