Kasus: Terkendala Aturan Seorang Siswa di Lumbok Seminung Terancam Putus Sekolah

Ilustrasi

Zonabrita.com – Kasus yang mengusik rasa keadilan kembali mencuat di tengah pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Seorang siswa dilaporkan gugur haknya untuk melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah, bukan karena tidak mampu mengikuti pelajaran atau masalah akademis, melainkan karena terganjal aturan batas usia yang ditetapkan dalam proses pendaftaran. Ironisnya, kejadian ini bertentangan dengan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 yang secara tegas menyatakan kewajiban setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan.

Dilansir dari Bajastvsumsel.com, Seorang anak di kecamatan Lumbok seminung Lampun Barat harus mengubur mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) setelah di keluarkan dari sekolah tempat ia mendaftar.

Sempat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMP Negeri 1 Lumbok Seminung Rahmat tiba-tiba di keluarkan dari sekolah.

Kenyataan pahit ini harus diterima (Rh) karena dinyatakan tidak lulus,meski sebelumnya dinyatakan lulus dan sempat mengikuti kegiatan (MPLS) di sekolah tersebut. Darsa kakek (Rh)menjelaskan”Cucu saya mendaftar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Lumbok Seminung dan diterima,”kata Darsa.

“Tapi setelah mengikuti (MPLS) dan kegiatan belajar selama dua Minggu,saya di panggil pihak sekolah dan di jelaskan bahwa cucu saya untuk istirahat dulu sekolahnya.”lanjut Darsa.

“Keterangan pihak sekolah usia cucu saya sudah lebih lima bulan dan pihak sekolah menyarankan untuk merubah identitas agar usia cucu saya lebih muda.”tegas Darsa.

“Kami ini orang susah jadi bingung gimana mau ngurusin untuk merubah identitas.”keluh Darsa

Setelah cucunya (Rh) dikeluarkan dari sekolah cucunya menjadi seperti orang frustasi.

."width="300px"

Kegiatan (Rh) saat ini setiap hari mancing di danau.Sebagai kakek Darsa sangat kasian dan menghawatirkan cucunya tersebut.

Darsa berharap pada pihak terkait dan pemangku kepentingan ada solusi bagi cucunya mengingat cucunya sangat ingat sekolah seperti anak-anak lainnya.

Kepala SMP Negeri 1 Lumbok Seminung, Penti Maharani, melalui sambungan telepon membenarkan bahwa salah satu siswa yang mendaftar di sekolahnya dinyatakan tidak memenuhi syarat.

“Iya benar, ada siswa yang dinyatakan tidak memenuhi syarat karena usianya lebih lima bulan,” kata Penti, Senin (28/7/2025).

Penti menjelaskan, sebelum MPLS pihaknya sudah menyampaikan agar RS untuk tidak dulu masuk sekolah sebelum ada titik terang.

“Kami sudah koordinasi ke dinas dan di arahkan untuk mendaftar ke Sekolah paket Kesetaraan Belajar yang ada di Pekon Empulau Ulu, Kecamatan Balik Bukit,” terang Penti.

“Kami juga sangat ingin menerima siswa tersebut terlebih semangatnya juga luar biasa, namun kami juga tidak bisa berbuat banyak karena aturannya begitu. Kasihan nanti sudah sekolah tapi tidak terdata di Dapodik,” tegas Penti.

Menurut Penti, jika nanti memang ada solusi dari pemerintah permasalahan tersebut pihaknya terbuka menerima siswa tersebut untuk sekolah di SMP Negeri 1 Lumbok Seminung.

Seementa UUD 1945 Pasal 31 dengan jelas menggarisbawahi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Amanat konstitusi ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Namun, dalam kasus ini, aturan teknis terkait batas usia dalam PPDB telah menjadi penghalang bagi seorang siswa untuk merealisasikan hak pendidikannya.

“Ini sungguh disayangkan. Di satu sisi, kita memiliki konstitusi yang menjamin hak pendidikan, namun di sisi lain, aturan-aturan turunan yang terlalu kaku justru bisa menghambat,” ujar seorang pegiat pendidikan di Jambi. “Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk membatasi akses berdasarkan usia.”

Detail pasti mengenai kelebihan usia siswa yang dimaksud belum diungkapkan secara rinci oleh pihak sekolah. Namun, seringkali aturan batas usia ini diterapkan sebagai salah satu kriteria seleksi dalam SPMB, terutama di sekolah-sekolah yang diminati. Meskipun tujuan aturan ini mungkin untuk pemerataan atau efisiensi, kasus ini menyoroti potensi dampak negatifnya terhadap individu yang haknya terenggut.

Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), selalu menekankan pentingnya akses pendidikan yang inklusif. Kasus seperti ini menjadi pengingat bagi semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, dinas pendidikan daerah, hingga pihak sekolah, untuk meninjau kembali relevansi dan dampak dari aturan-aturan teknis yang berlaku dalam SPMB.

Pertanyaan krusialnya adalah, apakah sebuah aturan teknis dapat mengesampingkan amanat konstitusi yang lebih tinggi? Kasus ini mendorong kita untuk merefleksikan kembali esensi pendidikan dan memastikan bahwa tidak ada lagi siswa yang kehilangan kesempatan untuk belajar hanya karena birokrasi atau aturan yang tidak fleksibel.(*)