Zonabrita.com – Pasca tumbangnya perusahaan raksasa tekstil Sritex pada 1 Maret 2025 berbagai informasi terkait persoalan yang dihadapi Sritex bermunculan di berbagai halaman media. Dari sejak berdirinya Sritex dengan kepemilikannya hingga terdapat daftar utang Bank PT Sritex diberbagai negara.
Dilansir dari pikiranrakyat.com penyebab kebangkrutan Sritex ternyata perusahaan itu memiliki utung dengan total mencapai Rp 25 triliun, salah satunya adalah ke PT Indo Bharat Rayon.
Meski begitu, utang ke Indo Bharat Rayon hanya Rp100 miliar atau 0,38 persen dari total utangnya selama ini, Sritex digugat perusahaan di Pengadilan Niaga Semarang dan putusan perkara 2/Pdt. Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg menyatakan Sritex telah pailit akibat gagal dalam membayar utangnya.
Sritex milik siapa?
Lantas, siapa sebenarnya sosok pemilik Sritex yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang? Dikutif dari laman tempo (24/10/2024) perusahan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex dirintis oleh pengusaha asal Solo, Jawa Tengah. Dia adalah HM Lukminto atau Muhammad Lukminto yang dikenal sebagai raja batik. Karirnya sebagai pengusaha dimulai Lukminto saat ia menjadi seorang pedagang batik di Pasar Klewer, Solo pada tahun 1966. Saat itu, ia berada di usia yang masih muda, yaitu 20 tahun.
Pada awalnya, Lukminto mengikuti kakaknya Ie Ay Djing atau Emilia yang sudah terlebih dahulu menjadi seorang pedagang di Pasar Klewer. Ia mulai mengikuti jejak kakaknya karena terpaksa harus berhenti sekolah saat menduduki kelas 2 SMA di SMA Chong Hua Chong Hui, akibat kebijakan Orde Baru yang melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis Tionghoa.
Dengan modal Rp100 ribu yang diberikan orang tuanya, Lukminto membeli kain belaco di Semarang dan Bandung. Dia lalu berjualan keliling di Pasar Klewer, Pasar Kliwon, dan sejumlah pabrik batik rumahan lainnya. Pada 1967, ia berhasil membeli dua buah kios di Pasar Klewer dan mengembangkan kiosnya tersebut.
Pada 1972, Lukminto berhasil membuat pabrik tekstil pertamanya di Semanggi, Solo. Kemudian, pada 1980-an ia merelokasi pabriknya dan membangun pabriknya di Desa Jetis, Sukoharjo dengan nama PT Sri Rejeki Isman atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan PT Sritex. Lahan pabrik yang semula 10 hektare terus berkembang sampai akhirnya menjadi lebih dari 100 hektare.
Pada 3 Maret 1992, HM Lukminto mendapatkan penghargaan luar biasa dari Presiden Soeharto yang akhirnya meresmikan pabriknya bersama dengan 275 pabrik aneka industri lainnya di Surakarta. Selain itu, ia juga mendapatkan penghargaan MURI karena telah menyediakan seragam prajurit untuk ABRI dan German Army pada 2007.
Pada tahun yang sama, ia mendapatkan Penghargaan MURI karena telah menjadi pemrakarsa dan penyelenggara pembuatan desain kain terbanyak sebanyak 300.000 desain. Tidak hanya itu, ia juga mendapatkan Penghargaan MURI lainnya karena telah melaksanakan upacara bendera setiap bulan pada tanggal 17.
Lukminto telah meninggal di Singapura pada Rabu, 5 Februari 2014 pukul 21.40 waktu setempat. Saat ini perusahaan peninggalannya diteruskan oleh anak-anaknya. Salah satunya adalah Iwan Kurniawan Lukminto yang menjabat sebagai Direktur Utama dan pemegang saham Sritex. Melansir dari laman Bursa Efek Indonesia, Sritex pertama kali go public pada 2013 lalu. Saham Sritex juga dimiliki oleh anak-anak Lukminto. Di antaranya adalah Margaret Imelda Lukminto, Lenny Imelda Lukminto, dan Megawati B. Lukminto yang menjabat sebagai Ketua Komite Audit Sritex.
Adapun daftar kepemilikan terhadap perusahaan atas persen saham yang dipimpin putra Lukminto, Iwan Kurniawan Lukminto, tersebut diantaranya :
- PT Huddleston Indonesia
Punya 59,03 persen saham. - Masyarakat publik Punya 39,89 persen saham.
- Iwan Setiawan Lukminto Komisaris Sritex ini tercatat punya 0,53 persen saham.
- Iwan Kurniawan Lukminto Direktur Utama mempunyai 0,52 persen saham.
- Vonny Imelda Lukminto Ia punya 0,01 persen saham.
- Margaret Imelda Lukminto Punya 0,01 persen saham.
- Lenny Imelda Lukminto Punya 0,01 persen saham.
Lalu daftar utang bank yang dimiliki PT Sritex,
- PT Bank Central Asia Tbk – US$ 71,309,857
State Bank of India, Singapore Branch – US$ 43,881,272 - PT Bank QNB Indonesia Tbk – US$ 36,939,779
- Citibank N.A., Indonesia – US$ 35,828,895
- PT Bank Mizuho Indonesia – US$ 33,709,712
- PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk – US$ 33,270,249
- PT Bank Muamalat Indonesia – US$ 25,450,735
- PT Bank CIMB Niaga Tbk – US$ 25,339,757
- PT Bank Maybank Indonesia Tbk – US$ 25,164,698
- PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah – US$ 24,802,906
- PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk – US$ 23,807,151
- Bank of China (Hong Kong) Limited – US$ 21,775,703
- PT Bank KEB Hana Indonesia – US$ 21,531,858
- Taipei Fubon Commercial Bank Co., Ltd. – US$ 20,000,000
- Woori Bank Singapore Branch – US$ 19,870,570
- Standard Chartered Bank – US$ 19,570,364
- PT Bank DBS Indonesia – US$ 18,238,799
- PT Bank Permata Tbk – US$ 16,707,799
- PT Bank China Construction Indonesia Tbk – US$ 14,912,907
- PT Bank DKI – US$ 9,130,551
- Bank Emirates NBD – US$ 9,614,459
- ICICI Bank Ltd., Singapore Branch – US$ 6,959,350
- PT Bank CTBC Indonesia – US$ 6,950,110
- Deutsche Bank AG – US$ 6,821,159
- PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk – US$ 4,970,990
- PT Bank Danamon Indonesia Tbk – US$ 4,519,552
- PT Bank SBI Indonesia – US$ 4,380,882
- MUFG Bank, Ltd. – US$ 23,777,384
Kini PT Sritex tinggal kenangan.(***)