Terkuak! Jejak Arkeologi Jambi Dukung Klaim Islamisasi Abad ke-1 Hijriah
Zonabrita.com – Arkeologi Jambi menuntut penempatan ulang (re-positioning) dalam sejarah peradaban dunia. Analisis komprehensif dari berbagai referensi global menegaskan bahwa wilayah yang dibelah oleh Sungai Batanghari ini merupakan titik simpul peradaban maritim yang telah eksis sejak era Pra-Sejarah. Bahkan, bukti-bukti menunjukkan Jambi memiliki usia yang setara atau lebih tua dari beberapa situs utama di Asia Tenggara.
Guru Besar UIN STS Jambi, Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd., menyampaikan pandangannya dalam Seminar Nasional Adat Melayu Jambi 2025. Beliau menegaskan bahwa temuan arkeologis Jambi memberikan dasar empiris kuat untuk meninjau kembali narasi sejarah global. Warisan historis ini, lanjutnya, membentuk fondasi kultural dan spiritual bagi identitas Melayu Jambi modern, Jumat (7/11).
Kajian arkeologi historis menemukan fakta-fakta sejarah Jambi melampaui batas-batas narasi nasional yang selama ini dikenal. Data menunjukkan Jambi menjadi lokasi penting dalam lintasan migrasi manusia jauh sebelum Masehi.
Penelitian arkeologis modern memperluas periode sejarah Jambi hingga Pra-Masehi. Ekskavasi di kawasan dataran tinggi, seperti Kerinci, menemukan bukti pemukiman sejak era Paleometalik (sekitar 500 SM). Artefak perunggu dari masa kebudayaan Dong Son membuktikan Jambi sebagai titik awal peradaban prasejarah yang berkembang secara mandiri di Sumatra.
Bukti-bukti yang menguatkan keberadaan manusia ribuan tahun sebelum Masehi terlihat jelas. Kawasan Geopark Merangin menampilkan struktur megalitik dan batu-batu silindrik di Lembah Masurai, menunjukkan adanya sistem sosial dan spiritual yang kompleks sejak akhir Pleistosen (sekitar 10.000 SM). Selain itu, penemuan lukisan cadas di Bukit Bulan, Kabupaten Sarolangun, diperkirakan berumur 6.600–1.700 tahun lalu (sekitar 4600 SM–300 M). Seni cadas ini mengindikasikan pola hidup menetap dan aktivitas domestik. Di wilayah Kerinci, tradisi tulisan, bahasa, dan struktur sosial Melayu berakar kuat dari masyarakat pegunungan, dengan temuan menhir dan dolmen sejak 3.000 SM.
Catatan dari peradaban lain mengonfirmasi reputasi Jambi sebagai pusat penting sejak masa kuno. Catatan Dinasti Tang dari Tiongkok menyebut Melayu Kuno (Mo-lo-yeu/Kao-Ying). Peziarah Budha I-Tsing pada tahun 671 M singgah di tanah Melayu dan menegaskan Jambi sebagai pusat studi Budha.
Dari sisi Eropa, penelitian awal Belanda mencatat Kompleks Candi Muara Jambi sebagai situs yang luar biasa luas (uitgestrekt), melebihi areal percandian di Nusantara dan bahkan di Asia. Sementara itu, literatur pedagang Timur Tengah, seperti Sulaiman, melalui Kitab al-Masalik wa’l-Mamalik, mencatat komoditas berharga yang berasal dari wilayah kepulauan ini.
Jambi memegang peran sentral dalam jaringan kerajaan Nusantara dan Asia, memberikan kontribusi signifikan terhadap pembentukan karakter Melayu Jambi kontemporer. Warisan peninggalan arkeologis di Jambi berfungsi sebagai Monumen Empiris yang membuktikan Teori Port-Polity.
Jambi merupakan lokasi utama dari Kerajaan Melayu Kuno (Mo-lo-yeu), dibuktikan oleh Prasasti Karang Berahi (abad ke-7 M). Kedaulatan ini tercermin dalam catatan I-Tsing. Afiliasi ini mewariskan kontribusi fundamental bagi Melayu Jambi, termasuk penguatan Bahasa Melayu Kuno sebagai identitas linguistik dan warisan budaya monastik Budha yang membentuk sistem pendidikan keilmuan.
Hubungan Jambi dengan Tiongkok melalui diplomasi dan perdagangan, serta dengan India melalui pengaruh agama Budha Mahayana dan aksara Pallawa, membentuk fondasi spiritual masyarakat kosmopolitan di wilayah ini. Penemuan candi bata di Muara Jambi menunjukkan difusi ajaran Budha dari India yang telah diadaptasi secara lokal. Ditemukannya ribuan fragmen keramik Tiongkok membuktikan adanya kontak multi-arah yang memperkaya budaya material masyarakat Jambi. Muara Jambi bahkan menunjukkan potensi usia yang lebih tua dibandingkan dengan situs besar di Jawa, dengan penanggalan Karbon-14 yang mengindikasikan aktivitas sejak abad ke-7 Masehi.
Jambi tidak hanya menjadi simpul ekonomi, tetapi juga pusat spiritual dan keilmuan yang memengaruhi Asia, menjadikannya saksi empiris keberlanjutan tradisi Budha.
Kompleks Candi Muara Jambi berfungsi sebagai pusat Budha Vajrayana dan Mahayana yang memiliki reputasi internasional. Situs ini berbagi kesamaan fungsi sebagai universitas monastik dengan Nalanda di India. Penemuan meterai tanah liat (votive tablets) dengan mantra Budha menjadi bukti empiris dari aktivitas keilmuan yang masif.
Terdapat diskursus akademik mengenai klaim Islamisasi Jambi sejak Abad ke-1 Hijriah (sekitar 622–718 M), yang menyatakan Islam ‘langsung dari Mekah’ (la gaung dari Makkah). Klaim ini didasarkan pada tradisi lisan dan historiografi, dan relevan dengan konteks perluasan politik dan perdagangan Arab yang masif pada era tersebut. Pelembagaan Islam kemudian dikuatkan secara politik melalui Kesultanan Jambi (abad ke-17 M), menghasilkan perpaduan unik Adat-Syarak yang masih berlaku hingga kini.
Sungai Batanghari memiliki peran vital. Sungai ini berfungsi sebagai jalur transportasi logistik, urat nadi peradaban (riverine civilization), dan koridor budaya yang menghubungkan komunitas pedalaman dan pesisir sejak masa Pra-Masehi.
Jambi menempati posisi strategis sebagai simpul (node) kunci yang menghubungkan produsen komoditas di pedalaman dengan konsumen global. Hal ini membentuk masyarakat Melayu Jambi yang kosmopolitan. Keberadaan Situs Muara Jambi menunjukkan kontrol atas seluruh rantai nilai komoditas.
Jambi memenuhi kriteria sebagai Pusat Budaya dan Peradaban Dunia pada dua periode penting dalam sejarah:
Pada Periode Melayu Kuno (Abad ke-7 M), Jambi menjadi Pusat Intelektual Budha Asia Tenggara. Kriteria ini dipenuhi melalui penyebaran ilmu pengetahuan, dengan Muara Jambi sebagai kampus internasional, serta skala megah kompleks candinya yang terbesar di Asia Tenggara.
Pada Periode Kesultanan Jambi (Abad ke-17 M), Jambi beralih menjadi Pusat Ekonomi Maritim Global. Hal ini terbukti dari perannya sebagai produsen utama lada, komoditas dunia, dan afiliasi politiknya melalui hubungan diplomatik dengan Belanda dan Kesultanan Turki Utsmaniyah.
Kajian ini membuktikan bahwa sejarah arkeologis Jambi adalah narasi yang kaya, multidimensi, dan berada pada posisi strategis dalam konteks sejarah dunia. Warisan dari interaksi historis dengan kerajaan Nusantara dan Asia, yang difasilitasi oleh Sungai Batanghari sebagai urat nadi Jalur Sutra Maritim, merupakan fondasi kultural bagi identitas Melayu Jambi. Karakter Melayu Jambi saat ini dicirikan sebagai masyarakat maritim, kosmopolitan, dan berpegang teguh pada prinsip “Syarak Mengato, Adat Memakai”.
Jambi, melalui Kompleks Candi Muara Jambi dan situs Pra-sejarahnya, layak diakui sebagai Titik Simpul Peradaban Global yang telah berkontribusi signifikan pada warisan budaya dunia sejak ribuan tahun lalu. (Red)











