Dilema Cimarga: Ketika Tamatnya Disiplin Klasik Menguji Wibawa Guru

Moch Idris, Srg Jurnalis Zona Cipta Media, menyoroti dunia pendidikan nasional (Foto Zonabrita)

Zonabrita.com – Insiden di SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang melibatkan Kepala Sekolah (Kepsek) dan seorang siswa perokok, bukan hanya berakhir dengan kesepakatan damai. Polemik ini telah membuka lembaran diskursus krusial mengenai dilema etis yang kini menjerat dunia pendidikan: bagaimana menegakkan disiplin keras tanpa melanggar prinsip anti-kekerasan dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Peristiwa ini, yang sempat memicu aksi mogok siswa, laporan kepolisian, dan intervensi pemerintah provinsi, menjadi penanda berakhirnya era disiplin klasik dan dimulainya ujian bagi wibawa guru di ruang kelas modern.

Konflik bermula dari pelanggaran tata tertib yang jelas: seorang siswa berinisial ILP kedapatan merokok di area sekolah. Secara hukum, tindakan siswa ini melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di lingkungan sekolah.

Namun, metode yang digunakan Kepsek, Dini Fitria, yakni tindakan fisik berupa tamparan, segera menggeser fokus dari pelanggaran siswa ke pelanggaran etika dan hukum oleh pendidik. Meskipun Kepsek mengaku tindakan tersebut adalah refleks emosi karena siswa tidak jujur dan melarikan diri, insiden ini terlanjur memicu reaksi berantai yang luas. Ratusan siswa melakukan mogok sebagai bentuk solidaritas, tidak hanya memprotes penamparan, tetapi juga mengungkap dugaan akumulasi tindakan arogan dan kekerasan verbal/fisik Kepsek di masa lalu.

Tindakan Kepsek, yang seharusnya menjadi penegak disiplin, secara hukum berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Hal ini membuat Pemprov Banten mengambil tindakan penonaktifan sementara sebuah upaya reaktif untuk menormalkan situasi yang terlanjur panas dan tidak kondusif di sekolah.

Polemik Cimarga tidak bisa dilepaskan dari pergeseran budaya pendidikan. Secara historis, Indonesia mengenal paradigma disiplin klasik yang menganggap hukuman fisik adalah bagian integral dari proses mendidik.

Dulu, hukuman seperti pukulan penggaris ke telapak tangan, berdiri jongkok, atau hormat tiang bendera selama jam pelajaran adalah sanksi yang umum dan diterima. Pada masa itu, siswa yang mendapatkan sanksi dari guru cenderung menerima dan enggan melaporkannya kepada orang tua. Bahkan, tidak jarang orang tua justru menambah hukuman di rumah, menunjukkan dukungan penuh terhadap otoritas dan wibawa guru.

Namun, di era digital dan kesadaran hak anak, paradigma tersebut sudah berakhir. Tindakan yang dulu dianggap wajar kini berujung pada laporan polisi dan sanksi administratif. Guru tidak lagi memiliki otoritas tanpa batas, dan setiap tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum.

Keputusan Gubernur Banten untuk menonaktifkan Kepsek—meskipun hanya bersifat sementara dan bertujuan meredakan ketegangan—dikecam oleh beberapa pengamat pendidikan dan serikat guru. Mereka menyebut langkah tersebut sebagai “blunder” kebijakan yang berpotensi menghancurkan moral dan wibawa pendidik.

​Kritik utamanya adalah bahwa sanksi terhadap guru yang berusaha mendisiplinkan siswa mengirimkan sinyal berbahaya: guru akan selalu salah jika terjadi konflik. Konsekuensi yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya “ketakutan mengajar” atau fear factor di kalangan guru. Guru dikhawatirkan akan memilih untuk bersikap pasif dan menutup mata terhadap pelanggaran disiplin siswa, seperti merokok atau bolos, demi menghindari risiko pelaporan dan sanksi. Jika ini terjadi, kualitas pendidikan dan moralitas siswa akan menjadi taruhannya.

Dampak negatif dari polemik ini bahkan melampaui lingkungan sekolah. Aksi mogok massal siswa Cimarga sempat memunculkan isu viral mengenai “blacklist alumni” dari sejumlah pihak HRD di media sosial.
​Meskipun isu ini belum terkonfirmasi secara formal, kekhawatiran ini nyata di kalangan siswa dan orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa citra sekolah sangat rentan di mata publik dan dunia kerja. Peristiwa Cimarga telah meninggalkan stigma bahwa alumni sekolah tersebut mungkin memiliki masalah kedisiplinan atau cenderung bertindak emosional, sebuah label yang membutuhkan waktu lama untuk dihilangkan.

Meskipun kasus ini berakhir damai dan Kepsek telah diaktifkan kembali, penyelesaian ini bersifat kasuistik dan belum menyentuh perubahan sistemik.
​Jalan keluar bagi dunia pendidikan adalah transisi total menuju Disiplin Positif sebuah pendekatan yang direkomendasikan KPAI dan komunitas pendidikan. Metode ini fokus pada:

1. ​Mencari Akar Masalah: Guru BK harus menjadi ujung tombak untuk mengidentifikasi alasan di balik perilaku negatif yang berulang (misalnya, stres, masalah keluarga).

2. ​Kontrak Perilaku dan Restitusi: Mengganti hukuman fisik dengan konsekuensi logis yang membangun tanggung jawab. Contohnya, siswa yang melanggar KTR ditugaskan membuat kampanye anti-rokok atau melakukan tugas sosial.

3. ​Memperkuat Kolaborasi Tiga Pihak: Sekolah harus melibatkan orang tua sebagai mitra, bukan sekadar penerima laporan. Komunikasi yang transparan wajib dilakukan agar orang tua dan guru konsisten dalam penegakan aturan.

​Peristiwa Cimarga adalah alarm keras yang harus menyadarkan bahwa disiplin harus tetap ditegakkan, tetapi dengan metode yang beradab dan profesional. Tantangannya kini ada pada pemerintah dan sekolah untuk menciptakan sistem yang mendukung wibawa guru sekaligus menjamin hak dan keamanan setiap siswa.

Penulis:  Moch Idris, Srg