Dewan Keamanan PBB Kembali Jatuhkan Sanksi Keras, Iran Hadapi Tekanan Ekonomi dan Politik Memburuk
Zonabrita.com – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberlakukan kembali sanksi keras terhadap Iran pada hari Sabtu, 27 September 2025, atas program nuklirnya. Keputusan ini diambil setelah kegagalan maraton diplomatik di sela-sela Majelis Umum PBB minggu ini, menambah penderitaan bagi rakyat Iran yang sudah menghadapi inflasi 40 persen, krisis air, dan kekurangan listrik yang parah. Banyak warga kini memprediksi kondisi ekonomi negara akan semakin memburuk.
Sanksi PBB ini jauh lebih luas daripada sanksi Amerika Serikat yang sudah berlaku. Sanksi ini berasal dari perselisihan dengan negara-negara Eropa terkait kepatuhan Teheran pada perjanjian nuklir 2015 dan keputusan Iran melarang inspektur internasional memasuki situs nuklirnya setelah serangan Israel dan Amerika Serikat pada bulan Juni.
Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengonfirmasi bahwa sanksi PBB mulai berlaku pukul 8 malam. Dalam sebuah pernyataan, ia menegaskan bahwa keputusan “untuk memulihkan pembatasan ini mengirimkan pesan yang jelas: Dunia tidak akan tunduk pada ancaman dan tindakan setengah-setengah — dan Teheran akan dimintai pertanggungjawaban.”
Sanksi baru ini membekukan aset dan melarang perjalanan bagi sejumlah entitas dan individu Iran. Selain itu, sanksi memberi otoritas kepada negara-negara untuk menghentikan dan memeriksa kargo yang bepergian dari Iran melalui udara dan laut pada kapal pemerintah Iran, termasuk kapal tanker minyak. PBB juga melarang Iran memperkaya uranium di tingkat mana pun, meluncurkan rudal balistik berkemampuan hulu ledak nuklir, melarang transfer pengetahuan teknis mengenai rudal balistik, dan memberlakukan kembali embargo senjata.
Sanksi ini menghantam Iran pada saat yang sangat sulit. Negara itu masih bergejolak akibat perang sengit 12 hari dengan Israel pada bulan Juni, yang berakhir setelah AS menjatuhkan bom penghancur bunker yang merusak tiga fasilitas nuklir Iran. Pemerintah juga bergulat dengan krisis energi dan air yang akut selama berbulan-bulan, mengakibatkan pemutusan pasokan listrik dan air wajib di banyak kota.
Naysan Rafati, analis senior Iran untuk International Crisis Group, mengatakan bahwa meskipun sanksi PBB “mungkin tidak memiliki dampak finansial yang sama dengan tindakan AS yang berlaku saat ini,” sanksi ini “memperparah tekanan yang sudah signifikan terhadap perekonomian Iran.”
Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menyebut sanksi tersebut “tidak adil dan ilegal.”
”Mereka ingin menggulingkan kami,” ujarnya saat konferensi pers dengan wartawan pada hari Jumat di New York.
Iran belum mengatakan bagaimana atau apakah mereka akan membalas sanksi baru tersebut. Presiden Pezeshkian mengatakan bahwa keputusan akan diambil setelah beliau kembali ke Iran dan berunding dengan pejabat lainnya. Kementerian Luar Negeri Iran langsung memanggil pulang duta besarnya dari Prancis, Inggris, dan Jerman ke Teheran untuk konsultasi pada hari Sabtu.
Faksi-faksi garis keras telah mendesak agar negara itu membalas dengan menarik diri dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT). Pezeshkian, seorang moderat, menepis anggapan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu bukanlah sebuah pilihan. Beliau kembali menegaskan bahwa Iran tidak berencana mengembangkan senjata nuklir dan menyatakan keterkejutannya bahwa dunia tidak mempercayainya.
Perjanjian 2015 membebaskan Iran dari sanksi PBB tetapi memungkinkan sanksi tersebut diberlakukan kembali, menggunakan mekanisme yang disebut “snapback,” jika Iran melanggar ketentuan kesepakatan. Tenggat waktu mekanisme snapback seharusnya berakhir pada Oktober 2025. Namun, pada bulan Agustus, Prancis, Inggris, dan Jerman mengaktifkan mekanisme tersebut dan memajukan tenggat waktu hingga 28 September.
Eropa menuduh Teheran melanggar ketentuan perjanjian 2015 dengan mempercepat pengayaan nuklirnya dari 3,5 persen menjadi 60 persen, mengumpulkan persediaan 400 kilogram uranium yang diperkaya tinggi, dan menolak akses inspektur internasional pasca serangan udara. Pejabat Iran bersikukuh bahwa percepatan pengayaan hanya terjadi karena AS secara sepihak keluar dari perjanjian nuklir pada tahun 2018 di bawah Presiden Trump dan menerapkan kembali sanksi.
Iran menuduh negara-negara Eropa, dengan menghentikan perdagangan demi mematuhi sanksi AS, secara efektif juga melanggar perjanjian tersebut.
Rusia dan Tiongkok, dua sekutu utama Iran yang merupakan anggota tetap Dewan Keamanan, berupaya menunda sanksi hingga enam bulan tetapi gagal. Kedua negara telah menyatakan bahwa mereka tidak menganggap tindakan snapback tersebut sah dan kemungkinan akan meringankan dampak sanksi dengan melanjutkan perdagangan mereka.
Tiongkok, klien utama minyak Iran, membeli minyak mentah dengan diskon sekitar 20 persen, membantu pemerintah Iran bertahan secara ekonomi. Seorang pejabat senior di Kementerian Perminyakan Iran memperkirakan bahwa sanksi baru tidak akan menghentikan Tiongkok membeli minyak, tetapi justru akan menambah hambatan dan memungkinkan Tiongkok menawar diskon yang lebih besar.
Pasar Iran bereaksi cepat terhadap berita sanksi baru tersebut. Pada hari Sabtu, nilai tukar rial anjlok 4 persen menjadi 1.126.000 per dolar di pasar gelap, yang menjadi indikator umum inflasi. Bagi rakyat Iran, kabar ini sangat menyakitkan. Mereka sudah berjuang melawan inflasi, meningkatnya pengangguran, dan kini khawatir akan kembalinya perang dengan Israel dan AS. (Red)
Sumber: di terjemahkan, dilansir dari laman the New York times