Peresean Memukau, Identitasnya Budaya Lombok
Peresean, sebuah tradisi bela diri khas suku Sasak di Lombok, bukan sekadar adu ketangkasan fisik. Lebih dari itu, peresean adalah sebuah tontonan yang memukau, perpaduan antara seni, olahraga, dan ritual adat yang sarat akan makna. Bagi mereka yang belum pernah menyaksikannya secara langsung, peresean mungkin terlihat brutal. Dua orang “petarung” atau pepadu, berhadapan dengan senjata rotan (penjalin) dan perisai kulit kerbau (ende), saling memukul untuk menjatuhkan lawan. Namun, di balik adu fisik yang intens itu, tersimpan filosofi mendalam yang mengakar kuat dalam kebudayaan Sasak.
Asal-Usul dan Makna Historis
Secara historis, peresean diyakini telah ada sejak era kerajaan-kerajaan kuno di Lombok, tradisi ini berfungsi sebagai ritual untuk melatih para prajurit sebelum mereka bertempur di medan perang. Pada masa itu, peresean adalah ajang untuk menguji keberanian, ketangkasan, dan strategi bertarung. Selain itu, peresean juga erat kaitannya dengan ritual adat, terutama untuk memohon hujan. Masyarakat Sasak percaya, semakin banyak darah yang tumpah dalam pertarungan, semakin cepat hujan akan turun membasahi bumi. Ritual ini melambangkan pertarungan antara maskulinitas dan alam untuk mendatangkan berkah.
Seiring berjalannya waktu, peresean tidak lagi digunakan sebagai media latihan prajurit, melainkan menjadi sebuah pertunjukan seni yang dilangsungkan dalam berbagai acara penting, seperti upacara perkawinan, peringatan hari besar, dan festival budaya. Meskipun demikian, nilai-nilai luhur dari peresean tetap dipertahankan. Pertarungan peresean bukanlah tentang dendam atau mencari musuh. Justru, tradisi ini dilangsungkan untuk menguji keberanian, kejantanan, dan sportivitas.
Peresean di Era Modern
Elemen lain yang membuat peresean begitu unik adalah peran pekembar atau wasit. Tidak seperti wasit pada umumnya, pekembar dalam peresean tidak hanya memimpin jalannya pertarungan, tetapi juga berfungsi sebagai semeton atau sesepuh yang bijaksana. Pekembar bertugas menjaga agar pertarungan tetap berjalan dalam koridor adat dan tidak sampai menimbulkan cedera serius. Keterampilan dan kearifan seorang pekembar sangat dihormati, dan keputusannya selalu dijunjung tinggi oleh para pepadu dan penonton.
Sayangnya, popularitas peresean sebagai tontonan kini mulai tergerus oleh hiburan modern. Banyak generasi muda yang tidak lagi tertarik untuk menjadi pepadu atau mempelajari filosofi di baliknya. Padahal, peresean adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Ia adalah cerminan dari semangat perjuangan, keberanian, dan persaudaraan yang telah dipegang teguh oleh suku Sasak secara turun-temurun. Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali menaruh perhatian pada tradisi ini. Melestarikan peresean bukan hanya tentang menjaga sebuah atraksi seni, tetapi juga tentang merawat identitas budaya dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Dengan dukungan dari berbagai pihak, peresean bisa terus hidup dan menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Aturan dan Perlengkapan dalam Peresean
Peresean dimainkan oleh dua orang pepadu yang dilengkapi dengan perisai (disebut ende) dan rotan (disebut penjalin). Perisai yang terbuat dari kulit kerbau atau kulit sapi ini berfungsi untuk menangkis serangan rotan lawan. Sementara itu, rotan yang lentur dan kuat menjadi senjata utama untuk menyerang.
Pertarungan peresean dipimpin oleh seorang wasit yang disebut pekembar. Pekembar bertugas untuk memastikan pertarungan berjalan adil dan sesuai aturan. Sebelum bertarung, para pepadu akan melakukan ritual khusus untuk memohon keselamatan dan kekuatan. Pertarungan biasanya berlangsung dalam beberapa ronde, dan pemenangnya ditentukan berdasarkan jumlah pukulan yang berhasil mengenai lawan atau jika salah satu pepadu menyerah.
Nilai Filosofis dan Manfaat bagi Masyarakat
Peresean tidak hanya sekadar pertarungan fisik, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis yang mendalam. Berikut adalah beberapa manfaat peresean bagi masyarakat Lombok:
Sarana Rekonsiliasi dan Hiburan:
Pertarungan peresean seringkali menjadi sarana untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik antar desa. Setelah bertarung, para pepadu akan saling berpelukan sebagai tanda persahabatan dan sportivitas. Hal ini mengajarkan masyarakat tentang pentingnya perdamaian dan persaudaraan.
Pelestarian Budaya: Peresean menjadi identitas budaya suku Sasak yang harus dijaga. Pertunjukan peresean seringkali menjadi daya tarik utama dalam acara-acara adat, festival, dan upacara pernikahan. Ini membantu memperkenalkan kekayaan budaya Lombok kepada wisatawan lokal maupun mancanegara.
Pengembangan Pariwisata: Peresean menjadi salah satu daya tarik wisata unggulan di Lombok. Pertunjukan peresean yang spektakuler dan penuh adrenalin menarik minat banyak wisatawan. Ini memberikan dampak positif pada perekonomian masyarakat, seperti peningkatan pendapatan bagi para pengrajin rotan dan perisai, serta bagi para seniman dan pelaku pariwisata.
Pembentukan Karakter: Latihan peresean mengajarkan nilai-nilai luhur seperti keberanian, kejujuran, sportivitas, dan kedisiplinan. Para pepadu dilatih untuk mengendalikan emosi dan menghargai lawan. Nilai-nilai ini sangat penting dalam membentuk karakter generasi muda yang tangguh dan beretika.
Kesimpulan
Peresean adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya bagi masyarakat Lombok. Lebih dari sekadar seni bela diri, peresean adalah cerminan dari semangat, keberanian, dan persaudaraan suku Sasak. Melalui pelestarian peresean, masyarakat tidak hanya menjaga tradisi leluhur, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik dengan mempromosikan pariwisata, memperkuat identitas budaya, dan menanamkan nilai-nilai luhur bagi generasi.(**)
Sumber: Redaksi Zonabrita