Benarkah Fenomena Aphelion Bikin Suhu Dingin, Jarak Bumi Ke Matahari Tak Perlu Ditakuti

Zonabrita.com – Mulai 6 hingga 7 Juli 2025, Bumi akan berada pada titik terjauh dari Matahari dalam lintasan orbitnya, sebuah peristiwa astronomi yang disebut aphelion. Fenomena ini sering disalahpahami sebagai penyebab utama cuaca dingin ekstrem atau penyakit mendadak, padahal kenyataannya tidak demikian. Masyarakat perlu memahami fakta ilmiah agar tidak termakan kabar keliru dan bisa menjaga kesehatan dengan cara yang benar.

Fenomena aphelion terjadi setiap tahun dan merupakan bagian alami dari orbit elips Bumi mengelilingi Matahari. Orbit Bumi tidak berbentuk lingkaran sempurna, melainkan sedikit lonjong atau elips. Karena itu, ada saat di mana Bumi berada pada jarak terdekat dari Matahari (perihelion) sekitar awal Januari, dan jarak terjauh (aphelion) sekitar awal Juli.

Pada aphelion tahun 2025, jarak Bumi ke Matahari diperkirakan mencapai sekitar 152,1 juta kilometer. Sebagai perbandingan, jarak rata-rata Bumi–Matahari atau yang dikenal dengan satu satuan astronomi (AU) adalah 149,6 juta kilometer. Artinya, saat aphelion, jarak hanya bertambah sekitar 2,5 juta kilometer atau sekitar 1,6 persen lebih jauh dari rata-rata. Jauh dari angka menakutkan “66% lebih jauh” yang sering disebarkan dalam pesan berantai.

Banyak orang beranggapan bahwa jarak yang lebih jauh akan membuat suhu di Bumi mendadak dingin. Faktanya, suhu global dan pergantian musim lebih dipengaruhi oleh kemiringan sumbu Bumi sekitar 23,5 derajat, bukan oleh jarak ke Matahari. Kemiringan ini menyebabkan sinar Matahari jatuh lebih tegak atau miring ke permukaan Bumi, menentukan panjang siang dan malam, serta intensitas panas yang diterima. Inilah sebabnya belahan Bumi utara mengalami musim panas justru saat aphelion terjadi pada Juli, meskipun jaraknya sedang paling jauh.

Indonesia sendiri, yang berada di wilayah khatulistiwa, relatif tidak mengalami perbedaan musim ekstrem seperti negara subtropis. Suhu di Indonesia lebih dipengaruhi oleh faktor lokal seperti angin monsun, kelembaban udara, curah hujan, dan kondisi topografi. Oleh karena itu, jika di Indonesia terasa lebih dingin pada pagi atau malam hari di bulan-bulan tertentu, hal itu lebih terkait dengan fenomena lokal, bukan karena aphelion.

Dari sisi kesehatan, beberapa pesan berantai menyebut aphelion akan memicu flu, batuk, hingga sesak napas. Secara ilmiah, tidak ada hubungan langsung antara aphelion dengan peningkatan risiko penyakit pernapasan. Flu, batuk, atau demam lebih sering disebabkan oleh virus yang menular, penurunan daya tahan tubuh, atau kebiasaan hidup yang kurang sehat. Mengaitkan fenomena astronomi dengan wabah penyakit hanyalah mitos yang tidak berdasar.

Saran untuk memperkuat daya tahan tubuh memang baik, tetapi bukan karena takut pada aphelion. Vitamin, suplemen, makanan bergizi, dan istirahat cukup memang perlu dilakukan setiap hari, tidak hanya pada saat tertentu. Masyarakat justru perlu waspada terhadap informasi yang berlebihan, karena bisa memicu kepanikan yang tidak perlu.

Selain itu, pesan-pesan yang menyebut aphelion sebagai dalih kemunculan varian baru virus, termasuk COVID-19, tidak memiliki dasar ilmiah. Mutasi virus merupakan proses biologis yang terjadi dalam siklus replikasi virus, bukan dipicu oleh jarak Bumi ke Matahari. Badan kesehatan internasional seperti WHO dan lembaga nasional seperti Kemenkes RI tidak pernah mengaitkan fenomena astronomi dengan pandemi atau varian virus.

."width="300px"

Fenomena aphelion justru bisa menjadi momen edukasi untuk masyarakat agar lebih mengenal astronomi, memahami keteraturan alam semesta, dan menyadari betapa presisinya sistem tata surya kita. Hal ini bisa meningkatkan apresiasi kita terhadap sains dan menghindarkan diri dari kepercayaan yang tidak rasional.

Menghadapi berbagai kabar yang beredar, masyarakat diimbau untuk selalu mengecek kebenaran informasi ke sumber terpercaya, seperti BMKG, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), atau lembaga astronomi internasional seperti NASA. Jika menemukan pesan berantai yang mencurigakan, jangan langsung menyebarkan, tetapi konfirmasi dulu kebenarannya.

Dengan pemahaman yang benar, kita tidak hanya terhindar dari ketakutan yang tidak perlu, tetapi juga bisa lebih bijak dalam menjaga kesehatan. Mari tetap menjaga pola hidup sehat, memperkuat daya tahan tubuh dengan cara yang tepat, dan menyambut fenomena alam sebagai pengetahuan yang memperkaya, bukan sebagai momok menakutkan.

Semoga narasi ini bisa membantu masyarakat lebih tenang, tercerahkan, dan tidak mudah terhasut kabar bohong yang menyesatkan. (Dwi Taufan Hidayat)

Sumber: askara.co